Muhajir Juli we KolumnisFoto: istimewaMuhajir Juli we KolumnisSejenak
mari lupakan politik Aceh yang cakrut marut tak jelas ujung pangkal.
Mari melirik bisnis baru di kalangan masyarakat yaitu giok.
Bukan sekedar gio-giokan, giok Aceh disebut-sebut punya kualitas selangit.
Lumut Indocrase dan Nephrite Jade adalah dua jenis batu mulia -asli Aceh- yang diklaim terindah di dunia.
Lumut Indocrase sendiri satu-satunya batu yang hanya terdapat di Aceh, tepatnya di Sungai Lumut, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Harganya pun selangit. Luar biasa!.
Sedangkan Nephrite Jade, selain dipunya oleh bumi Aceh, juga dipunyai oleh Tiongkok. Tapi soal kualitas, batu dari negeri Wong Fei Hung itu kalah secara kualitas.
Menurut ahli perbatuan mulia itu, orang Tiongkok sekarang ikut-ikutan mencari batu giok Aceh. Sekali lagi, luar biasa.
Selain dua nama itu, Aceh masih punya satu jenis batu lainnya yang tidak kalah hebatnya, yaitu Black Onix.
Batu ini per gramnya dijual dengan harga Rp27 ribu. batu ini memiliki khasiat (katanya) untuk melancarkan peredaran darah.
Secara keseluruhan ada 126 batu cincin yang ditemukan di Aceh
Nagan Raya dan Tanah Gayo adalah daerah penghasil giok Aceh yang sedang naik daun. Dalam waktu singkat batu mulia itu menjadi pencaharian alternatif rakyat Aceh yang sedang dihimpit oleh kemiskinan.
Harga yang mencapai Rp8 juta per kilogram menjadi daya tarik tersendiri. Bukan hanya warga setempat, rakyat dari pesisir pun kepincut dan ikut memburu giok.
Laman media sosial seperti facebook dan chatter pun penuh dengan gambar orang yang berpose dengan giok yang telah dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
Tiba-tiba, sebuah portal online plot merah yang berbasis di Aceh, mengabarkan bahwa Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf alias Mualem muncul di Nagan Raya dan Bener Meriah pada Jumat (28/11/2014).
Disana dia mendampingi calon financier dari Jerman yang akan menginvestasikan uangnya di sektor giok.
Secara fact penulis sejauh ini belum mengetahui langkah kongkrit apa yang akan dilakukan oleh pemerintah Aceh dalam soal giok dengan calon investornya itu.
Pastinya hadirnya orang kaya kulit putih ke tanah rencong adalah sinyal bahaya bagi ‘pendekar’ giok lokal yang selama ini mengantungkan hidupnya dari sumber daya alam yang dititipkan Tuhan di bumi Aceh.
Bicara financier adalah bicara persoalan limpahan uang dan industri yang serius.
Tak ada bule yang mau untung sedikit. Disisi yang lain, ancaman kerusakan lingkungan sudah didepan mata.
Bicara orang lokal akan terpinggirkan. Sejarah memang telah mencatat itu. dimana financier luar hadir dan bekerja, disanalah kemiskinan dan kejahatan kemanusiaan akan terjadi.
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang penulis sampaikan ini merupakan bentuk paranoid yang berlebihan.
Tapi melihat track record nahkoda Aceh selama ini, ketakutan dini perlu dipertegas. Sebab, selalu saja posisi rakyat kecil sering dikorbankan oleh pengambil kebijakan, demi memuaskan ‘tamu’ yang sering berupa pencuri yang dilindungi oleh tembok kekuasaan.
Saya sendiri bukanlah pecinta giok. Bahkan tidak satu cincin pun tersemat di jemari. Tapi bicara giok Aceh adalah bicara kepentingan rakyat banyak. Juga bicara kepentingan Aceh untuk masa depan.
Hemat saya Aceh tidak butuh financier untuk mengeksploitasi gioknya yang luar biasa itu. Sebab ketika ‘orang kaya dari luar’ diberikan jalan masuk untuk berinvestasi dengan cara mengekploitasi secara langsung, berarti telah merampas hak rakyat lokal untuk bisa langsung mengambilnya dari alam.
Ada ancaman berupa akan terpinggirnya rakyat yang lahir, hidup dan bakal mati di tanah yang dititipkan giok oleh Allah.
Latih Rakyat Untuk Mengelola
Bila pemerintah serius ingin memajukan Aceh lewat giok, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mendidik rakyat Aceh, khususnya warga dimana giok itu berada.
Mereka perlu dilatih cara mengambil giok yang benar. Kemudian mengolahnya dengan benar. Hasil akhirnya adalah lahirnya industri giok Aceh yang berbasis masyarakat lokal.
Bila industri ini terwujud, maka Aceh akan menjadi tempat pengolahan giok yang dikemudian hari menjadi sentra produksi giok.
Bilapun kelak giok di Aceh habis, kita telah siap untuk mengolah giok dari luar.
Giok Aceh perlu dikeluarkan dari negeri ini dalam bentuk barang jadi.
Biarkan orang luar menjadi konsumen yang membeli barang yang telah kita produksi. Soal bentuk dan rupa, hanya perlu menyesuaikan dengan pesanan.
Intinya giok yang keluar dari Aceh adalah barang siap pakai.
Saya kira uang Aceh yang berlimpah, menjadi modal bagi pemerintah untuk melakukan pembinaan kepada gioker -istilah saya untuk para pemburu dan penambang giok lokal-.
Mindset pemerintah haruslah visioner. Tajam melihat peluang serta punya strategi jitu untuk memajukan ekonomi rakyat.
Dengan kualitas batu mulia di Aceh yang sangat luar biasa, akan sangat sulit bagi pasar untuk menolaknya. Bahkan bilapun satu negara memboikot kita (karena investornya kita jegal untuk masuk) maka akan ada ratusan negara lain yang antri untuk membeli hasil karya anak negeri.
Tulisan ini tidaklah bermaksud melawan Muzakkir Manaf dalam upayanya memajukan Aceh. Tapi sebagai bentuk tawaran solusi bagi menjaga marwah rakyat, citra pemimpin dan harga diri kita dihadapan para pialang dunia yang hanya mau untung besar dan pelit berbagi
.
Kepada rakyat Aceh, khususnya pemilik sah giok -lahir, hidup dan bakal mati- di tanah dimana giok itu berada, mari bangkit dan lawan.
Tolak financier giok. Yakinkan pemerintah, kalau hanya soal eksploitasi dan pengolahan, anda semua siap melakukannya.
Pemerintah hanya perlu membimbing. Bila kita kembali gagal bangkit kali ini, bersiaplah untuk kehilangan untuk yang kesekian kali.
Bukan sekedar gio-giokan, giok Aceh disebut-sebut punya kualitas selangit.
Lumut Indocrase dan Nephrite Jade adalah dua jenis batu mulia -asli Aceh- yang diklaim terindah di dunia.
Lumut Indocrase sendiri satu-satunya batu yang hanya terdapat di Aceh, tepatnya di Sungai Lumut, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Harganya pun selangit. Luar biasa!.
Sedangkan Nephrite Jade, selain dipunya oleh bumi Aceh, juga dipunyai oleh Tiongkok. Tapi soal kualitas, batu dari negeri Wong Fei Hung itu kalah secara kualitas.
Menurut ahli perbatuan mulia itu, orang Tiongkok sekarang ikut-ikutan mencari batu giok Aceh. Sekali lagi, luar biasa.
Selain dua nama itu, Aceh masih punya satu jenis batu lainnya yang tidak kalah hebatnya, yaitu Black Onix.
Batu ini per gramnya dijual dengan harga Rp27 ribu. batu ini memiliki khasiat (katanya) untuk melancarkan peredaran darah.
Secara keseluruhan ada 126 batu cincin yang ditemukan di Aceh
Nagan Raya dan Tanah Gayo adalah daerah penghasil giok Aceh yang sedang naik daun. Dalam waktu singkat batu mulia itu menjadi pencaharian alternatif rakyat Aceh yang sedang dihimpit oleh kemiskinan.
Harga yang mencapai Rp8 juta per kilogram menjadi daya tarik tersendiri. Bukan hanya warga setempat, rakyat dari pesisir pun kepincut dan ikut memburu giok.
Laman media sosial seperti facebook dan chatter pun penuh dengan gambar orang yang berpose dengan giok yang telah dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
Tiba-tiba, sebuah portal online plot merah yang berbasis di Aceh, mengabarkan bahwa Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf alias Mualem muncul di Nagan Raya dan Bener Meriah pada Jumat (28/11/2014).
Disana dia mendampingi calon financier dari Jerman yang akan menginvestasikan uangnya di sektor giok.
Secara fact penulis sejauh ini belum mengetahui langkah kongkrit apa yang akan dilakukan oleh pemerintah Aceh dalam soal giok dengan calon investornya itu.
Pastinya hadirnya orang kaya kulit putih ke tanah rencong adalah sinyal bahaya bagi ‘pendekar’ giok lokal yang selama ini mengantungkan hidupnya dari sumber daya alam yang dititipkan Tuhan di bumi Aceh.
Bicara financier adalah bicara persoalan limpahan uang dan industri yang serius.
Tak ada bule yang mau untung sedikit. Disisi yang lain, ancaman kerusakan lingkungan sudah didepan mata.
Bicara orang lokal akan terpinggirkan. Sejarah memang telah mencatat itu. dimana financier luar hadir dan bekerja, disanalah kemiskinan dan kejahatan kemanusiaan akan terjadi.
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang penulis sampaikan ini merupakan bentuk paranoid yang berlebihan.
Tapi melihat track record nahkoda Aceh selama ini, ketakutan dini perlu dipertegas. Sebab, selalu saja posisi rakyat kecil sering dikorbankan oleh pengambil kebijakan, demi memuaskan ‘tamu’ yang sering berupa pencuri yang dilindungi oleh tembok kekuasaan.
Saya sendiri bukanlah pecinta giok. Bahkan tidak satu cincin pun tersemat di jemari. Tapi bicara giok Aceh adalah bicara kepentingan rakyat banyak. Juga bicara kepentingan Aceh untuk masa depan.
Hemat saya Aceh tidak butuh financier untuk mengeksploitasi gioknya yang luar biasa itu. Sebab ketika ‘orang kaya dari luar’ diberikan jalan masuk untuk berinvestasi dengan cara mengekploitasi secara langsung, berarti telah merampas hak rakyat lokal untuk bisa langsung mengambilnya dari alam.
Ada ancaman berupa akan terpinggirnya rakyat yang lahir, hidup dan bakal mati di tanah yang dititipkan giok oleh Allah.
Latih Rakyat Untuk Mengelola
Bila pemerintah serius ingin memajukan Aceh lewat giok, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mendidik rakyat Aceh, khususnya warga dimana giok itu berada.
Mereka perlu dilatih cara mengambil giok yang benar. Kemudian mengolahnya dengan benar. Hasil akhirnya adalah lahirnya industri giok Aceh yang berbasis masyarakat lokal.
Bila industri ini terwujud, maka Aceh akan menjadi tempat pengolahan giok yang dikemudian hari menjadi sentra produksi giok.
Bilapun kelak giok di Aceh habis, kita telah siap untuk mengolah giok dari luar.
Giok Aceh perlu dikeluarkan dari negeri ini dalam bentuk barang jadi.
Biarkan orang luar menjadi konsumen yang membeli barang yang telah kita produksi. Soal bentuk dan rupa, hanya perlu menyesuaikan dengan pesanan.
Intinya giok yang keluar dari Aceh adalah barang siap pakai.
Saya kira uang Aceh yang berlimpah, menjadi modal bagi pemerintah untuk melakukan pembinaan kepada gioker -istilah saya untuk para pemburu dan penambang giok lokal-.
Mindset pemerintah haruslah visioner. Tajam melihat peluang serta punya strategi jitu untuk memajukan ekonomi rakyat.
Dengan kualitas batu mulia di Aceh yang sangat luar biasa, akan sangat sulit bagi pasar untuk menolaknya. Bahkan bilapun satu negara memboikot kita (karena investornya kita jegal untuk masuk) maka akan ada ratusan negara lain yang antri untuk membeli hasil karya anak negeri.
Tulisan ini tidaklah bermaksud melawan Muzakkir Manaf dalam upayanya memajukan Aceh. Tapi sebagai bentuk tawaran solusi bagi menjaga marwah rakyat, citra pemimpin dan harga diri kita dihadapan para pialang dunia yang hanya mau untung besar dan pelit berbagi
.
Kepada rakyat Aceh, khususnya pemilik sah giok -lahir, hidup dan bakal mati- di tanah dimana giok itu berada, mari bangkit dan lawan.
Tolak financier giok. Yakinkan pemerintah, kalau hanya soal eksploitasi dan pengolahan, anda semua siap melakukannya.
Pemerintah hanya perlu membimbing. Bila kita kembali gagal bangkit kali ini, bersiaplah untuk kehilangan untuk yang kesekian kali.
No comments:
Post a Comment