Monday, February 23, 2015

Pengrajin giok aceh yang sukses di Jakarta


raja giok
Awalnya sebagai anggota satuan  penjaga keamanan (Satpam) Mess Aceh, kemudian beralih menjadi pedagang giok Aceh yang sukses. Namanya Ikrar,  kini dikenal sebagai “raja nefrite atau giok Aceh” di Rawa Bening, pusat perdagangan batu mulia di Jakarta.
Dengan penghasilan rata-rata Rp 20 juta per bulan, membuat Ikrar makin betah di bisnis giok Aceh. “Dulu giok Aceh tak ada pasar. Tapi sekarang dicari banyak penggemar. Tentu perjuangan ini tidak semudah membalik telapak tangan, harus melalui fase-fase jumpalitan,” kata Ikrar saat menceritakan perjalanan hidupnya kepada kami, di arena pameran batu giok di Gedung MPR RI, pekan lalu.
Kepada pengunjung pameran, Ikrar dengan fasih menceritakan keunggulan giok Aceh yang berasal dari Nagan Raya, dan Sungai Lumut Aceh Tengah. Untuk membuktikan keterangannya, sesekali Ikrar membakar kalung bermata giok seukuran kepalan tangan, dan sejerus kemudian menempelkannya pada kelopak mata.  “Sama sekali tidak panas. Tetap dingin,” terangnya penuh semangat.
Ia pun lantas mengusulkan agar gedung MPR dilengkapi batu giok di tiap ruangan yang akan memancarkan hawa dingin. “Kita tak perlu AC lagi kalau sudah ada giok dalam ruangan. Tinggal ukurannya saja di sesuaikan dengan kapasitas ruangan,” lanjut Ikrar.
Ikrar, pria asli Aceh, menjalani pendidikan sampai sekolah menengah di Banda Aceh, semula beradu peruntungan dengan melamar pekerjaan di Kantor Penghubung Pemerintah Aceh di Jakarta. Ia lalu diterima sebagai penjaga keamanan Mess Aceh yang sekarang telah beralih fungsi sebagai hotel. “Penghasilan sebagai petugas keamanan jauh dari cukup untuk kehidupan sebuah keluarga di Jakarta. Saya harus kreatif menyiasati keadaan, sebagai penjual batu giok. Eh, lama kelamaan bisnis batu makin menjanjikan, dan saya kemudian memutuskan berhenti sebagai penjaga mess,” kata Ikrar, bapak dua anak. Profesi sebagai petugas satpam dijalaninya 1,5 tahun.
Di kalangan penjual batu mulia di Rawa Bening, Ikrar, dijuluki sebagai “raja nefrite” atau “raja giok Aceh.” Itu karena yang didagangkannya seluruhnya giok dari Aceh. Ia juga berdagang di emperan alias kaki lima. Dengan sebuah “standing banner” yang bertuliskan “Ikrar Stone,” sosoknya segera mudah dikenali dari logat bicaranya yang sangat Aceh. Ikrar memperoleh batu giok dari Nagan Raya. Tersedia dalam bentuk batangan atau kotak persegi empat, juga dalam bentuk potongan kecil seukuran ibu jari. Juga ada dalam bentuk cincin siap pakai.
Raw Bening merupakan salah satu mal terbesar dan terlengkap di Indonesia yang menjual batu mulia. Mulai dari bahan baku sampai bahan jadi tersedia di tempat itu. Giok Aceh yang bekibar namanya setahun terakhir ini menjadi salah satu koleksi yang paling banyak dicari. Ikrar sendiri sempat kewalahan melayani besarnya minat  pembeli. “Berapapun barang yang tersedia, segera ludes,” katanya.
Mengantisipasi besar lonjakakan pembeli, Ikrar menyarankan kepada Pemerintah Aceh atau Pemerintah Kabupaten Nagan Raya dan Aceh untuk segera membuat regulasi yang mengatur penggunaan giok. “Sekarang aturannya tak jelas. Sehingga banyak yang ditangkap aparat sat mmbawa giok,” katanya. Ia mnyebutkan, industri batu giok harus segera tumbuh di Aceh. “Sekarang banyak yang datang ke Aceh mencari giok, dan membawa bongkahannya ke luar daerah, sementara tak ada nilai tambah apa pun untuk daerah,” katanya.
Giok yang dijual Ikrar, adalah giok yang sudah diolah di Aceh. Bersama usahawan giok Aceh lainnya, Iswadi Azwir, mereka punya pabrik pengolahan batu giok di Banda Aceh. “Yang kita bawa ke Jakarta sudah dalam bentuk batangan seperti ini,” katanya seraya memperlihatkan beberapa batang batu giok dalam aneka ukuran.
Ikrar juga menyesalkan, masyarakat belum memperoleh informasi yang benar tentang giok Aceh. Padahal, giok Aceh paling unggul dan diminati Taiwan, Cina, Korea. Promosi giok juga belum ideal.
“Pemerintah seharusnya memfasilitasi semua ini dalam bentuk program jelas. Selama ini masyarakat lebih banyak bekerja secara swadaya dengan sumber daya terbatas,” kritik Ikrar.

No comments:

Post a Comment